Pages

Kamis, 24 Maret 2011

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

A.    Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar
            Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.
            Pendekatan konstruktivistik dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan dan ketrampilannya (Brunner, 1990) dan informasi yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan diluar dirinya.
            Aliran konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang diproleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru (Nurhadi,2004).
            Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
            Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dan kawan kawan (2004), siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengonstruksi”, bukan ‘menerima’ pengetahuan.
            Oleh karena itu, Slavin (1994) menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses belajar mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, disamping mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.

B.     Akar Sejarah Konstruktivisme
            Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dan usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidakseimbangan (dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual.
1.        Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia (Nurhadi,2004). Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, menurut Piaget, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan adaptasi.
            Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Dengan proses organisasi ini, manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut.
            Proses adaptasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Nurhadi,2004), yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
Pertama, Skemata
            Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya sejumlah struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau tingkatan perkembangan tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur ini disebut dengan struktur pikiran (intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus memiliki suatu struktur yaitu skema yang berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual.
            Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa mulai dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak skemata yang dimilikinya. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi.
Kedua, asimilasi
            Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau perilaku yang sudah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah melihat ‘seekor ayam’. Stimulus ayam yang dialaminya akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling dekat dengan ayam adalah “burung”, maka ia akan menyebut ‘ayam’ itu sebagai “burung besar”. Ketika dipahaminya bahwa hewan itu bukan ‘burung besar’ tetapi ‘ayam’, maka terbentuklah skemata ‘ayam’ dalam struktur pikiran anak itu.
            Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tapi memengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata. Asimilasi merupakan proses kognitif individu dalam usaha mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus-menerus dalam perkembangan intelektual anak.
Ketiga, akomodasi
            Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Dalam akomodasi terjadi perubahan kualitatif, sedangkan asimilasi merupakan perubahan kuantitatif. Pada hakikatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus baru, struktur mentalnya menjadi goyah atau tidak stabil. Bersamaan terjadinya akomodasi, struktur mental anak tersebut menjadi stabil kembali. Begitulah proses asimilasi dan akomodasi terjadi terus-menerus dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan waktu dan bertambahnya pengalaman.
dalam asimilasi, individu memaksakan struktur yang ada padanya kepada stimulus yang masuk. Artinya, stimulus dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu yang bersangkutan.
            Dalam akomodasi, individu dipaksa mengubah struktur mentalnya agar cocok dengan stimulus yang baru itu.
Asimiliasi dan akomodasi bersama-sama secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual.


Keempat, Keseimbangan (equilibrium)
            Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai strukutur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses asimilasi dan proses akomodasi. Jean Piaget menyebut dengan keseimbangan (equilibrium). Dengan adanya keseimbangan ini, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.
            Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan proses asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Faktor keturunan yang baik berkaitan dengan proses-proses adaptasi akan mempengaruhi, walaupun faktor lingkungan lebih memiliki pengaruh.
            Adaptasi adalah keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi.
Jadi, perkembangan intelektual adalah suatu proses yang kontinyu dari keadaan seimbang-tak seimbang-seimbang dan yang terjadi setiap saat, pada setiap fase perkembangan manusia.
            Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia  ke dalam empat perkembangan (Mar’at, 2005), yaitu:  periode sensori (0-18/24 bulan), periode operasional (2-7 tahun), periode operasional konkret (7-11 tahun), operasional formal (lebih dari 11 tahun)
Tabel Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap
Usia/Tahun
Gambaran
Sensorimotor
0-2
Bayi bergerak dari tindakan refleks instingtif pada saat lahir sampai permulaan pikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik.
Operational
2-7
Anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar.
Kata-kata dan gambar gambar menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindak fisik.
Concerte operational
7-11
Pada saat ini anak dapat berfikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret
Formal Operational
11-15
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis. Pemikiran lebih idealistik
Sumber: diadaptasi dari Santrock

2.        Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky
            Menurut Vygotsky (Elliot,2003,52), belajar merupakan proses yang melibatkan dua elemen penting . pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua elemen tersebut. Keterlibatan alat indera dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.
            Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial  bagi perkembangan belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya  atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial.
            Menurut Vygotsky (Slavin,1994), fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi kerjasama di antara individu-individu (proses sosialisasi) sebelum akhirnya itu berada di dalam diri individu (internalisasi). Vygotsky ingin menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.
            Dalam belajar bahasa, ucapan pertama dengan orang lain bertujuan untuk komunikasi, akan tetapi jika sekali menguasainya, ucapan atau bahasa akan terinternalisasi dalam diri orang itu dan menjadi “inner speech” atau “private speech”. Private speech dapat diamati ketika seorang anak berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi suatu masalah yang sulit.
Perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan perkembangan bahasanya. Vygotsky membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap (Ellio,2003):
·      Prientelectual Speech, yaitu tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis (menangis, mengoceh, dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki, menggoyang-goyangkan tangan) yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih sempurna seperti berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan dengan kemampuan bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.
·      Naive psycology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak ‘mengeksplore’ atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini, anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah dapat mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat mencapai pemahaman verbal dan dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga hal ini dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan mempengaruhi cara berfikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.
·      Egocentric spech, tahap ini ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu melakukan percakapan tanpa memedulikan orang lain atau apakah orang lain mendengarkan mereka atau tidak.
·      Inner speech, tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam menggerakkan perilaku seseorang.

            Ide dasar lain dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding adalah memberikan dukungan atau bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal belajar,kemudian sedikit demi sedikit  mengurangi dukungan atau bantuan itu setelah anak mampu memecahkan problem dari tugas yang dihadapinya.
C.      Strategi Belajar Konstruktivisme
Slavin,1994:
a.        Top Down Processing
       Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan ketrampilan yang dibutuhkan. Misalnya, siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya. Belajar dengan pendekatan top down processing ini berbeda dengan pendekatan belajar bottom-up processing yang tradisional dimana ketrampilan dibangun secara perlahan-lahan melalui ketrampilan yang lebih kompleks.

b.        Cooperative learning
       Strategi yang digunakan untuk proses belajar, dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi. Dalam strategi cooperative learning siswa belajar dalam pasangan-pasangan atau kelompok untuk saling membantu memecahkan problem yang dihadapi. Cooperative learning lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh individu. (kunci konsep dasar yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky)

c.         Generative learning
       Strategi ini menekankan adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu, generative learning ini mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang dipelajarinya.

D.    Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
            Pandangan dari berbagai macam model pembelajaran bahwa dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivisme:
Discovery Learning
            Jerome Bruner (Slavin,1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar aktif melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Discovery learning memiliki beberapa keuntungan dalam belajar, antara lain siswa memiliki kontroversi dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai mereka menemukan jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Siswa juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki ketrampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.

Reception Learning
David Ausable (Slavin, 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia beragumen bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan disekolah.
Walaupun peran guru dalam discovering learning dan receptioning berbeda, tapi keduanya memiliki kesamaan:
·           Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan siswa dalam belajar.
·           Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang sudah ada menjadi bagian dari pengetahuan baru.
·           Kedua pendekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai suatu yang dapat berubah terus.
            Teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian merepresentasikan dengan baik pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti dari pendekatan reception learning adalah expository learning, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.
Pengajaran ekspository (expository teaching) berisi tiga tahapan pembelajaran, yaitu:
1.        Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila ada potensi kesesuaian antara skema yang dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan dipelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami informasi yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara materi pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa.  Tujuan advance organizer ada tiga: yaitu memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; men-highlight di antara hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang diperoleh/dipelajari.
2.        Tahap kedua, menyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer, langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa juga perlu melihat perbedaannya. Dengan demikian tidak terjadi kebingungan ketika siswa mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.
3.        Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.

Assisted Learning
            Assisted Learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan individu. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya. Orang lain disebut sebagai pembimbing atau guru. Pada umumnya bimbingan ini dikomunikasikan melalui bahasa.
            Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan dapat berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam memecahkan problem yang dihadapinya.
            Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti misalnya memecahkan problem, mengarahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktifitas individual.
            Dalam belajar dengan bantuan ini, guru adalah seseorang agen budaya yang dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai ketrampilan yang membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan ketrampilan dan secara berlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.

Active Learning
            Active learning artinya pembelajaran aktif. Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. (Silberman, 1996).
            Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara mendengarkan da melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain siswa akan paham, dengan cara mendengar melihat diskusi dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan , dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan.
            Hasil pengembangan dari pernyataan Confisius ini oleh Silberman diabadikan dengan kredo:
What I hear, I forget
What I hear and see, I remember a little
What I hear, see, and ask question about or discuss with someone else, I begin to understand
What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill
What I teach to another, I master
Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.

The Accelerated Learning
            The Accelerated Learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
            Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif (DePorter, Hemacki, 2000).

Quantum Learning
            Quantum didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Sedang learning artinya belajar. Dengan demikian, Quantum learning adalah cara penggubahan bermacam-macam interaksi, hubungan, dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar (Bobby DePorter dan Mike Hernacki, 2000). Dalam prakteknya, quantum learnig menggunakan suggestologi, teknik pemercepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Bobby DePorter dan Mike Hernacki,2000).
            Quantum Learning  mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan potensi yang tidak bisa terduga sebelumnya.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik.
Quantum learning memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi menjadi suatu yang integral.
            Dalam praktik, quantum learning bersandang pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian, pembelajaran merupakan kegiatan full contact yang melibatkan sesuai aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa depan. Semua ini harus dikelola sampai mencapai harmoni.
Setiap detail mencerminkan suatu lingkungan kelas yang bertaburan isyarat yang disadari atau tidak, akan diikuti oleh siswa.

Contextual teaching and learning (CTL)
            Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari hari.
            Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi lebih dipentingkan  daripada hasil (Nurhadi, Yasin, Burhan, Senduk, A Gerad, 2004).
            Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas.
            Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL:
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya;
2.      Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik;
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya;
4.      Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok);
5.      Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran;
6.      Lakukan refleksi di akhir pertemuan;
7.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
            Sekolah yang baik menurut Dryden dan Vos, adalah sekolah tanpa kegagalan. Semua siswa teridentifikasi bakat, ketrampilan, dan kecerdasannya, sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik, dan sekolah seharusnya dapat melayaninya.
            Macam-macam gaya belajar: visual (melihat  diagram dan gambar), sebagian menggunakan indera perasa (haptic), menggerakkan tubuh (kinestetik),  orientasi membaca buku (teks tercetak), dan kelompok interaktif (berinteraksi dengan siswa yang lain).
            Humanizing the classroom yang menghargai adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh siswa, experiental learning (dikembangkan David Kolb) sangat memperhatikan adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
            Experiental learning juga didasarkan pada pengalaman. Kedua model belajar tersebut mempunyai konsep bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari memahami  dan mentransformasi pengetahuan. 

1 komentar:

  1. salam kenal...
    boleh tahu refrensiny tidak?
    aku ingin mengetahui lebih detil....
    terimakasih....

    BalasHapus